Sabtu, 02 April 2016

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai


Direktorat Jenderal Bea dan Cukai
Kementerian Keuangan Republik Indonesia
LOGO BEA CUKAI.png
Susunan organisasi
Direktur Jenderal



Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (disingkat DJBC atau bea cukai) adalah nama dari sebuah instansi pemerintah yang melayani masyarakat di bidang kepabeanan dan cukai. Pada masa penjajahan Belanda, bea dan cukai sering disebut dengan istilah douane. Seiring dengan era globalisasi, bea dan cukai sering menggunakan istilah customs.

Lembaga

Dari segi kelembagaan, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai dipimpin oleh seorang direktur jenderal yang setara dengan unit eselon 1 yang berada di bawah Kementerian Keuangan Indonesia, sebagaimana juga Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Perbendaharaan, dan lain-lain.

Tugas dan fungsi

Tugas dan fungsi DJBC adalah berkaitan erat dengan pengelolaan keuangan negara, antara lain memungut bea masuk berikut pajak dalam rangka impor (PDRI) meliputi (PPN Impor, PPh Pasal 22, PPnBM) dan cukai. Sebagaimana diketahui bahwa pemasukan terbesar (sering disebut sisi penerimaan) ke dalam kas negara adalah dari sektor pajak dan termasuk di dalamnya adalah bea masuk dan cukai yang dikelola oleh DJBC.
Selain itu, tugas dan fungsi DJBC adalah mengawasi kegiatan ekspor dan impor, mengawasi peredaran minuman yang mengandung alkohol atau etil alkohol, dan peredaran rokok atau barang hasil pengolahan tembakau lainnya. Seiring perkembangan zaman, DJBC bertambah fungsi dan tugasnya sebagai fasilitator perdagangan, yang berwenang melakukan penundaan atau bahkan pembebasan pajak dengan syarat-syarat tertentu.

Kewenangan DJBC

Cukai

Cukai adalah pungutan oleh negara secara tidak langsung kepada konsumen yang menikmati/menggunakan objek cukai. Obyek cukai pada saat ini adalah cukai hasil tembakau(rokok, cerutu dsb), Etil Alkohol, dan Minuman mengandung etil alkohol / Minuman keras. Malaysia menerapkan cukai pada 13 jenis produk.
Secara sederhana dapat dipahami bahwa harga sebungkus rokok yang dibeli oleh konsumen sudah mencakup besaran cukai di dalamnya. Pabrik rokok telah menalangi konsumen dalam membayar cukai kepada pemerintah pada saat membeli pita cukai yang terdapat pada kemasan rokok tersebut. Untuk mengembalikan besaran cukai yang sudah dibayar oleh pabrik maka pabrik rokok menambahkan besaran cukai tersebut sebagai salah satu komponen dari harga jual rokok tersebut.
Filosofi pengenaan cukai lebih rumit dari filosofi pengenaan pajak maupun pabean. Dengan cukai pemerintah berharap dapat menghalangi penggunaan objek cukai untuk digunakan secara bebas. Hal ini berarti adanya kontrol dan pengawasan terhadap banyaknya objek cukai yang beredar dan yang dikonsumsi. Hal yang menarik adalah pengenaan cukai semen dan gula oleh pemerintah Belanda saat menjajah Indonesia. Cukai dipergunakan untuk mengontrol kebutuhan masyarakat pada gula dan semen demi kepentingan penjajah pada saat itu.
Sisi lain dari pengenaan cukai di beberapa negara maju adalah membatasi barang-barang yang berdampak negatif secara sosial (pornografi dll) dan juga kesehatan (rokok, minuman keras dll). Tujuan lainnya adalah perlindungan lingkungan dan sumber-sumber alam (minuman kemasan, limbah dll), serta mengurangi atau membatasi konsumsi barang-barang mewah dan sebagainya.
Contoh kasus dinegara tetangga adalah penggunaan deterjen yang berlebihan, yang telah mencemari sungai yang menjadi bahan baku pembuatan air minum publik oleh perusahaan pemerintah[rujukan?]. Hal ini membuat pemerintah mengeluarkan biaya ekstra untuk proses produksi air minum tersebut. Pemerintah tidak dapat menaikkan harga air minum karena adanya resistensi publik atas rencana tersebut. Sebagai jalan keluar, dikenakan cukai pada semua produk deterjen di negara tersebut. Didasari atas asas keadilan, maka pertambahan biaya proses pemurnian air tersebut tidak dibebankan kepada konsumen air minum, tetapi dibebankan kepada setiap konsumen deterjen.
Asas yang sama telah berlaku pada para perokok aktif di Indonesia.Perokok pasif harus menanggung risiko yang lebih besar, oleh sebab itu cukai rokok dibebankan setinggi-tingginya.

Pabean

Pabean yang dalam bahasa Inggrisnya Customs atau Duane dalam bahasa Belanda memiliki definisi yang dapat kita temukan dan hafal baik dalam kamus bahasa Indonesia ataupun Undang-Undang kepabeanan. Untuk dapat memahami kata pabean maka diperlukan pemahaman terhadap kegiatan ekspor dan impor. Pabean adalah kegiatan yang menyangkut pemungutan bea masuk dan pajak dalam rangka impor. Ada juga bea keluar untuk ekspor, khususnya untuk barang / komoditi tertentu .
Filosofi pemungutan bea masuk adalah untuk melindungi industri dalam negeri dari limpahan produk luar negeri yang diimpor, dalam bahasa perdagangan sering disebut tariff barier yaitu besaran dalam persen yang ditentukan oleh negara untuk dipungut oleh DJBC pada setiap produk atau barang impor. Sedang untuk ekspor pada umumnya pemerintah tidak memungut bea demi mendukung industri dalam negeri dan khusus untuk ekspor pemerintah akan memberikan insentif berupa pengembalian restitusi pajak terhadap barang yang diekspor.
Produk mentah seperti beberapa jenis kayu, rotan dsb pemerintah memungut pajak ekspor dan pungutan ekspor dengan maksud agak para eksportir sedianya dapat mengekspor produk jadi dan bukanlah bahan mentah atau setengah jadi. Filosofi pemungutan pajak ekspor pada komoditi ini adalah untuk melindungi sumber daya alam Indonesia dan menjamin ketersediaan bahan baku bagi industri dalam negeri.

Proses impor dan pabean

Kegiatan impor dapat dikatakan sebagai proses jual beli biasa antara penjual yang berada di luar negeri dan pembeli yang berada di Indonesia. Adapun tahapan impor adalah :
  • Hal yang penting dalam setiap transaksi impor adalah terbitnya L/C atau letter of credit yang dibuka oleh pembeli di Indonesia melalui Bank (issuing bank)
  • Selanjutnya penjual di luar negeri akan mendapatkan uang untuk harga barangnya dari bank dinegaranya (correspondent bank) setelah mengirim barang tersebut dan menyerahkan dokumen-dokumen yang berkaitan dengan pengiriman barang dan spesifikasi barang tersebut (bill of lading (BL), Invoicedsb).
  • Dokumen-dokumen tersebut oleh correspondet bank dikirim ke issuing bank yang ada diIndonesia untuk di tebus oleh importir.
  • Dokumen yang kini telah dipegang oleh importir tersebut digunakan untuk mengambil barang yang dikirim oleh penjual. pada tahap ini proses impor belum dapat dikatakan selesai karena importir belum mendapatkan barangnya.
  • barang impor tersebut diangkut oleh sarana pengangkut berupa kapal-kapal pengangkut barang (cargo) internasional dan hanya akan merapat di pelabuhan-pelabuhan resmi pemerintah, misalnya Tanjung Priok (Jakarta) dimana sebagian besar kegiatan importasi di Indonesia dilakukan. banyak proses yang harus dilalui hingga akhirnya sebuah sarana pengangkut (kapal cargo) dapat merapat dipelabuhan dan membongkar muatannya (barang impor).
  • Istilah "pembongkaran" bukanlah barang tersebut di bongkar dengan dibuka setiap kemasannya, namun itu hanya istilah pengeluaran kontainer/peti kemas dari sarana pengangkut kepelabuhan, petugas DJBC tidak membongkar isi dari kontainer itu jika memang tidak ada perintah untuk pemeriksaan.)
  • Setelah barang impor tersebut dibongkar maka akan ditempatkan ditempat penimbunan sementara (container yard) perlu diketahui bahwa menyimpan barang di kawasan ini dikenakan sewa atas penggunaan ruangnya (demorage).
  • Setelah bank menerima dokumen-dokumen impor dari bank corresponden di negara pengekspor maka importir harus mengambil dokumen-dokumen tersebut dengan membayar L/C yang telah ia buka. dengan kata lain importir harus menebus dokumen tersebut karena bank telah menalangi importir ketika bank membayar eksportir saat menyerahkan dokumen tersebut.
  • Setelah selesai urusan dokumen tersebut maka kini saatnya importir mengambil barang tersebut dengan dokumen yang telah importir peroleh dari bank (B/L, invoice dll).
  • Untuk mengambil barangnya maka importir diwajibkan membuat pemberitahuan impor barang (PIB) atau disebut sebagai pemberitahuan pabean atau dokumen pabean sedangkan invoice, B/L, COO (certificate of origin), disebut sebagai dokumen pelengkap pabean. Tanpa PIB maka barang impor tersebut tidak dapat diambil oleh importir.
  • PIB dibuat setelah importir memiliki dokumen pelengkap pabean seperti B/L dll. Importir mengambil dokumen tersebut melalui bank, maka jika bank tersebut merupakan bank devisa yang telah on-line dengan komputer DJBC maka pengurusan PIB dapat dilakukan di bank tersebut.
  • Prinsip perpajakan di Indonesia adalah self assesment begitu pula dalam proses pembuatan PIB ini, formulir PIB terdapat pada bank yang telah on-line dengan komputer DJBC setelah diisi dan membayar bea masuk kepada bank maka importir tinggal menunggu barangnya tiba untuk menyerahkan dokumen yang diperlukan kepada DJBC khususnya kepada kantor pelayanan DJBC dimana barang tersebut berada dalam wilayah pelayanannya, untuk pelabuhan tanjung priok terdapat Kantor Pelayanan Utama (KPU) Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok.
  • Setelah importir menyelesaikan PIB dan membayar bea masuk serta (pungutan impor) pajak-pajak dalam rangka impor di bank, maka bank akan memberitahukan kepada DJBC secara on-line mengenai pengurusan PIB dan pelunasan bea masuk dan pajak impor. dalam tahap ini DJBC hanya tinggal menunggu importir menyerahkan PIB untuk diproses, penyerahan PIB inipun telah berkembang sedemikian rupa hingga untuk importir yang telah memiliki modul impor atau telah terhubung dengan sistem komputer DJBC dapat menyerahkan PIB secara elekronik (electronic data interchange system = EDI system) sehingga dalam prosesnya tak terdapat interaksi secara fisik antara importir dengan petugas DJBC

Sistem yang digunakan DJBC

Rencana kedepannya semua importasi akan diarahkan untuk menggunakan sistem ini karena pertimbangan keamanan dan efisiensi, sehingga bermunculan warung-warung EDI (semacam warnet khusus untuk mengurus importasi) disekitar pelabuhan yang akan membantu importir yang belum memiliki modul impor atau tidak secara on-line terhubung dengan sistem komputer DJBC.
proses pengeluaran barang impor sangat tergantung pada jenis barang impor itu sendiri, khusus untuk barang impor asal tumbuhan dan hewan akan melalui pemeriksaan karantina (masa karantina) ini penting untuk mencegah masuknya penyakit dan hal-hal yang tidak dinginkan dari segi kekarantinaan dan kesehatan seperti pemeriksaan layak konsumsi atau tidak, masa kedaluwarsa, dsb, untuk daging impor harus ada Certificate of origin agar diketahui dari mana asalnya, juga umumnya sertikat halal untuk komoditi konsumsi.
Selanjutnya DJBC akan memberlakukan National Single Window (NSW) untuk pelayanan dengan otomasi. no tipping

Sistem penjaluran

Kiranya perlu pula diketahui sistem penjaluran barang yang diterapkan oleh DJBC dalam proses impor. Keempat jalur ini awalnya dikategorikan dengan penerapan manajemen risiko berdasarkan profil importir, jenis komoditi barang, track record dan informasi-informasi yang ada dalam data base intelejen DJBC. Sistem penjaluran juga telah menggunakan sistem otomasi sehingga sangat kecil kemungkinan diintervensi oleh petugas DJBC dalam menentukan jalur-jalur tersebut pada barang tertentu. terdapat 4 (empat) penjaluran secara teknis. Pada tahun 2007 DJBC telah memperkenalkan Jalur MITA, yaitu sebuah jalur fasilitas yang khusus berada pada kantor Pelayanan Utama (KPU).
Jalur tersebut adalah:
  1. Jalur prioritas yang khusus untuk importir yang memiliki track record sangat baik, untuk importir jenis ini pengeluaran barangnya dilakukan secara otomatis (sistem otomasi) yang merupakan prioritas dari segi pelayanan, dari segi pengawasan maka importir jenis ini akan dikenakan sistem Post Clearance Audit (PCA) dan sesekali secara random oleh sistem komputer akan ditetapkan untuk dikenakan pemeriksaan fisik.
  2. Jalur hijau, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk kedua jalur tadi pemeriksaan fisik barang tetap akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem, adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap barang.
  3. Jalur Kuning, jalur ini diperuntukkan untuk importir dengan track record yang baik dan dari segi komoditi impor bersifat risiko rendah (low risk) untuk jalur tersebut pemeriksaan dokumen barang tetap akan dilaksanakan dengan dasar-dasar tertentu misalnya terkena random sampling oleh sistem, adanya nota hasil intelejen (NHI) yang mensinyalir adanya hal-hal yang memerlukan pemeriksaan lebih lanjut terhadap barang.
  4. Jalur merah (red chanel) ini adalah jalur umum yang dikenakan kepada importir baru, importir lama yang memiliki catatan-catatan khusus, importir dengan risiko tinggi karena track record yang tidak baik, jenis komoditi tertentu yang diawasi pemerintah, pengurusannya menggunakan jasa customs broker atau PPJK perusahaan pengurusan jasa kepabeanan dengan track record yang tidak baik ( "biro Jasa" atau "calo"), dlsb. Jalur ini perlu pengawasan yang lebih intensif oleh karenanya diadakan pemeriksaan fisik barang. pemeriksaan fisik tersebut bisa 10%, 30% dan 100%.
  • Jalur Mitra Utama (MITA), jalur ini adalah fasilitas yang saat ini hanya berada pada Kantor Pelayanan Utama.

Tugas lain

Tugas lain DJBC adalah menjalankan peraturan terkait ekspor dan impor yang diterbitkan oleh departemen atau instansi pemerintahan yang lain, seperti dari Departemen Perdagangan, Departemen Pertanian, Departemen Kesehatan, Badan Pengawas Obat dan Makanan, Departemen Pertahanan dan peraturan lembaga lainya.
Semua peraturan ini menjadi kewajiban bagi DJBC untuk melaksanakannya karena DJBC adalah instansi yang mengatur keluar masuknya barang di wilayah Indonesia. Esensi dari pelaksanaan peraturan-peraturan terkait tersebut adalah demi terwujudnya efisiensi dan efektivitas dalam pengawasan dan pelayanan, karena tidak mungkin jika setiap instansi yang berwenang tersebut melaksanakan sendiri setiap peraturan yang berkaitan dengan hal ekspor dan impor, tujuan utama dari pelaksanaan tersebut adalah untuk menghidari birokrasi panjang yang harus dilewati oleh setiap pengekspor dan pengimpor dalam beraktivitas.

Struktur 0rganisasi

Berdasar Peraturan Menteri Keuangan Nomor 234/PMK.01/2015[1] disebutkan susunan organisasi tingkat pusat Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terdiri dari:
  1. Sekretariat Direktorat Jenderal
  2. Direktorat Teknis Kepabeanan
  3. Direktorat Fasilitas Kepabeanan
  4. Direktorat Teknis dan Fasilitas Cukai
  5. Direktorat Kepabeanan Internasional dan Antar Lembaga
  6. Direktorat Keberatan Banding dan Peraturan
  7. Direktorat Informasi Kepabeanan dan Cukai
  8. Direktorat Kepatuhan Internal
  9. Direktorat Audit Kepabeanan dan Cukai
  10. Direktorat Penindakan Dan Penyidikan
  11. Direktorat Penerimaan dan Perencanaan Strategis
Disamping jabatan-jabatan di atas, terdapat juga 3 (tiga) pejabat "Tenaga Pengkaji":
  1. Tenaga Pengkaji Bidang Pengembangan Kapasitas dan Kinerja Organisasi
  2. Tenaga Pengkaji Bidang Pengawasan dan Penegakan Hukum Kepabeanan dan Cukai
  3. Tenaga Pengkaji Bidang Pelayanan dan Penerimaan Kepabeanan dan Cukai
Untuk unit vertikal, berdasar Peraturan Menteri Keuangan nomor 206.3/PMK.01/2014 disebutkan susunanan unit vertikal pada Direktorat Jenderal Bea dan Cukai terdiri dari:
3 (tiga) unit kantor pelayanan utama
  1. Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe A Tanjung Priok
  2. Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe B Batam
  3. Kantor Pelayanan Utama Bea dan Cukai Tipe C Soekarno-Hatta
16 (enam belas) unit kantor wilayah
  1. Kantor Wilayah DJBC Aceh di Banda Aceh
  2. Kantor Wilayah DJBC Sumatera Utara di Medan
  3. Kantor Wilayah DJBC Riau Dan Sumatera Barat di Pekanbaru
  4. Kantor Wilayah DJBC Khusus Kepulauan Riau di Tanjung Balai Karimun
  5. Kantor Wilayah DJBC Sumatera Bagian Selatan di Palembang
  6. Kantor Wilayah DJBC Banten di Tangerang
  7. Kantor Wilayah DJBC Jakarta di Jakarta Pusat
  8. Kantor Wilayah DJBC Jawa Barat di Bandung
  9. Kantor Wilayah DJBC Jawa Tengah Dan D.I. Yogyakarta di Semarang
  10. Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur I di Surabaya
  11. Kantor Wilayah DJBC Jawa Timur II di Malang
  12. Kantor Wilayah DJBC Bali, NTB Dan NTT di Denpasar
  13. Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Barat di Pontianak
  14. Kantor Wilayah DJBC Kalimantan Bagian Timur di Balikpapan
  15. Kantor Wilayah DJBC Sulawesi di Makassar
  16. Kantor Wilayah DJBC Maluku, Papua Dan Papua Barat di Ambon

Direktur Jenderal Bea dan Cukai

Daftar Pimpinan Bea Cukai saat ini disebut Direktur Jenderal Bea dan Cukai. Berikut ini daftar pejabatnya:

Pranala luar

Pengertian, Ciri, dan Peranan Pajak - Negara Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 yang menjunjung tinggi hak dan kewajiban setiap orang. Oleh karena itu, pajak ditempatkan sebagai salah satu perwujudan kewajiban kenegaraan dalam rangka kegotongroyongan yang turut berperan serta dalam pembiayaan dan pembangunan negara. Sesuai dengan ketentuan UUD 1945 Pasal 23 Ayat (2), ketentuan-ketentuan perpajakan yang merupakan landasan pemungutan pajak harus ditetapkan dengan undang-undang.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka undang-undang tentang perpajakan di Indonesia yang sekarang berlaku adalah sebagai berikut.
1. Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000, tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan.
2. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000, tentang Pajak Penghasilan.
3. Undang-Undang Nomor18 tahun 2000, tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa serta Pajak Penjualan atas Barang Mewah.
4. Undang-Undang Nomor 12 tahun 1994, tentang Pajak Bumi dan Bangunan.
5. Peraturan pemerintah RI Nomor 24 tahun 2000 tentang Bea Meterai.
Untuk lebih jelasnya mengenai segala hal yang menyangkut pajak, simak pembahasan berikut ini.
Pengertian Pajak
Pajak (Tax) adalah iuran wajib dari rakyat kepada negara dengan tidak menerima imbalan jasa secara langsung berdasarkan undang-undang, untuk membiayai pengeluaran-pengeluaran umum. Oleh karena pajak merupakan salah satu sumber penerimaan negara sehingga pemungutannya dapat dipaksakan, baik secara perseorangan maupun dalam bentuk badan usaha. Adapun yang dimaksud dengan tidak menerima imbalan jasa secara langsung adalah imbalan khusus yang erat hubungannya dengan pembayaran iuran tersebut. Imbalan jasa dari Negara  antara lain menggunakan jalan-jalan, perlindungan dari pihak keamanan, pembangunan jembatan yang tidak ada hubungannya langsung dengan pembayaran itu.
Dari pengertian di atas, ciri-ciri yang melekat pada definisi pajak antara lain sebagai berikut.
a. Pajak merupakan setoran sebagian kekayaan individu atau badan usaha untuk kas negara sesuai dengan ketentuan UU.
b. Sifat pemungutannya dapat dipaksakan, terus-menerus dan tidak mendapat prestasi (imbalan) kembali secara langsung.
c. Penerimaan pajak oleh negara dipakai untuk pengeluaran negara dalam melayani kepentingan masyarakat.
Pajak yang dipungut oleh negara mempunyai peran yang sangat besar bagi pembangunan, karena merupakan salah satu sumber penerimaan negara selain minyak bumi dan gas alam. Oleh karena itu, dalam pemungutannya diperlukan kesadaran untuk memenuhi kewajiban membayar pajak. Kesadaran tersebut akan dapat dicapai apabila masyarakat menyadari peranan pajak itu sendiri.
Adapun peranan pajak di antaranya sebagai berikut.
a. Berfungsi sebagai alat demokrasi di Indonesia untuk melaksanakan pembangunan.
b. Penerimaan negara dari pajak akan meningkatkan tabungan pemerintah.
c. Masyarakat harus menyadari dan merasa memperoleh kenikmatan atas pembangunan dalam segala bidang yang dijalankan pemerintah.
d. Kelangsungan pembangunan Indonesia memerlukan biaya dan masyarakat harus menyadari bahwa biaya tersebut merupakan tanggung jawab bersama



Sistem Perpajakan dan Cara Menghitung Pajak - Sistem perpajakan adalah cara yang digunakan oleh pemerintah untuk memungut atau menarik pajak dari rakyat dalam rangka membiayai pembangunan dan pengeluaran pemerintah lainnya.
Ciri dari corak sistem perpajakan di Indonesia berdasarkan undang-undang yang berlaku antara lain sebagai berikut.
a. Bahwa pemungutan pajak merupakan perwujudan dari pengabdian dan peran serta masyarakat untuk pembiayaan negara dan pembangunan nasional.
b. Tanggung jawab atas kewajiban pelaksanaan pemungutan pajak berada pada anggota masyarakat wajib pajak sendiri.
c. Anggota masyarakat wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, memperhitungkan, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang terutang (self assessment).
Oleh karena itu, pemerintah mengatur sistem perpajakan yaitu Undang-Undang Perpajakan yang baru, yang terdiri atas UU Nomor 16 tahun 2000, UU Nomor 17 tahun 2000, UU Nomor 18 tahun 2000, dan UU Nomor 12 tahun 1994 tentang perubahan atas UU Nomor 9 tahun 1994, UU Nomor 10 tahun 1994, UU Nomor 11 tahun 1994, dan UU Nomor 12 tahun 1994.
a . Undang-Undang Nomor 16 tahun 2000 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan Undang-undang ini berisi dua bab, yaitu:
1) Bab I mengenai pengertian dasar yang berkaitan dengan pajak dan perhitungan pajak.
Dalam UU ini berisi pengertian berikut.
a) Wajib Pajak adalah orang pribadi atau badan yang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan ditentukan untuk melakukan kewajiban perpajakan, termasuk pemungutan pajak dan pemotongan pajak tertentu.
b) Badan adalah sekumpulan orang dan atau modal yang merupakan kesatuan baik yang melakukan usaha maupun yang tidak melakukan usaha yang meliputi perseroan lainnya, BUMN atau BUMD dengan nama Pendapatan Kena Pajak (PKP) dan dalam bentuk apapun, firma, kongsi, koperasi, dana pension, persekutuan, perkumpulan, yayasan, organisasi masa, organisasi sosial politik, atau organisasi yang sejenis, lembaga, bentuk usaha tetap dan bentuk badan lainnya.
c) Pengusaha adalah orang pribadi atau badan dalam bentuk apapun yang dalam kegiatan usaha atau pekerjaannya menghasilkan barang. Mengimpor barang, mengekspor barang, melakukan perdagangan, memanfaatkan barang tidak berwujud dari luar daerah pabean, melakukan usaha jasa, atau memanfaatkan jasa dari luar daerah pabean.
d) Pengusaha kena pajak adalah pengusaha sebagaimana dimaksud diatas yang melakukan penyerahan barang kena pajak dan atau penyerahan jasa kena pajak yang dikenakan berdasarkan UU Pajak Pertambahan Nilai 1984 dan perubahannya, tidak termasuk Pengusaha Kecil yang batasannya ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan, kecuali pengusaha kecil yang memilih untuk dikukuhkan menjadi pengusaha kena pajak.
e) Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) adalah nomor yang diberikan kepada wajib pajak sebagai sarana dalam administrasi perpajakan yang dipergunakan sebagai tanda pengenal diri atau identitas wajib pajak dalam melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya.
f) Masa pajak adalah jangka waktu yang lamanya sama dengan 1 (satu) tahun takwim atau jangka waktu lain yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Keuangan paling lama 3 (tiga) bulan takwim.
g) Tahun pajak adalah jangka waktu 1 (satu) tahun takwim kecuali bila wajib pajak menggunakan tahun buku yang tidak sama dengan tahun takwim.
h) Bagian tahun pajak adalah bagian dari jangka waktu 1 (satu) tahun pajak.
i) Pajak yang terutang adalah pajak yang harus dibayar pada suatu saat, dalam masa pajak, dalam tahun pajak atau dalam bagian tahun pajak menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
j) Surat pemberitahuan adalah surat yang oleh wajib pajak digunakan untuk melaporkan perhitungan dan atau pembayaran pajak, objek pajak dan atau bukan objek pajak, dan atau harta dan kewajiban, menurut ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan.
b. Undang-Undang Nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan
Pajak Penghasilan (PPh) adalah pajak yang dikenakan terhadap subjek pajak atas penghasilan yang diterima atau diperolehnya dalam tahun pajak. Sementara itu, penghasilan adalah setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima, baik berasal dari Indonesia maupun luar Indonesia, yang dapat menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan.
1) Subjek Pajak Penghasilan
Subjek pajak meliputi:
a) - orang pribadi
- warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak
b) badan
c) bentuk usaha tetap, yaitu bentuk usaha yang digunakan oleh orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau badan yang tidak didirikan dan bertempat kedudukan di Indonesia, untuk menjalankan usaha dan melakukan kegiatan di Indonesia Subjek pajak terdiri atas subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri.
a) Subjek pajak dalam negeri adalah:
- orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan;
- badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
- warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan menggantikan yang berhak.
b) Subjek pajak luar negeri adalah:
- orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan dan badan yang menjalankan usaha;
- orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia.
2) Objek Pajak Penghasilan
Objek pajak penghasilan adalah penghasilan yang setiap tambahan kemampuan ekonomis yang diterima atau diperoleh wajib pajak, baik yang berasal dari Indonesia maupun dari luar negeri, yang dpaat dipakai untuk konsumsi atau untuk menambah kekayaan wajib pajak yang bersangkutan, dengan nama dan dalam Bentuk apapun, termasuk:
a) penggantian atau imbahan berkenaan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh termasuk gaji, upah, tunjangan, honorarium, komisi, bonus, gratifikasi, uang pensiun, atau imbalan dalam bentuk lainnya, kecuali ditentukan lain dalam UU ini;
b) hadiah dari undian atau pekerjaan atau kegiatan dan penghargaan;
c) laba usaha;
d) keuntungan karena penjualan atau karena pengalihan harta;
e) penerimaan kembali pembayaran pajak yang telah dibebankan sebagai biaya;
f) bunga termasuk premium, diskonto, dan imbalan karena jaminan pengembalian utang;
g) dividen dengan nama dan dalam bentuk apapun, termasuk dividen dari perusahaan asuransi kepada pemegang polis dan pembagian SHU koperasi;
h) royalti;
i) sewa dan penghasilan lain sehubungan dengan penggunaan harta;
j) penerimaan atau perolehan pembayaran berkala;
k) keuntungan karena pembebasan utang;
l) keuntungan karena selisih kurs mata uang asing;
m) selisih lebih karena penilaian kembali aktiva;
n) premi asuransi;
o) iuran yang diterima atau diperoleh perkumpulan dari anggotanya yang terdiri dari wajib pajak yang menjalankan usaha atau pekerjaan bebas;
p) tambahan kekayaan neto yang berasal dari penghasilan yang belum dikenakan pajak;
Pajak atas penghasilan berupa bunga deposito dan tabungan-tabungan lainnya, penghasilan dari transaksi saham dan sekuritas lannya di bursa efek, penghasilan dari pengalihan harta berupa tanah dan atau tabungan serta penghasilan tertentu lainnya, pengenaan pajaknya diatur dengan peraturan pemerintah.
3) Penghasilan Tidak Kena Pajak (PTKP)
Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 137/ PMK.03/2005 ditetapkan tanggal 30 Desember 2005, tentang Penyesuaian Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak.
a) Besarnya Penghasilan Tidak Kena Pajak disesuaikan menjadi sebagai berikut.
- Rp13.200.000,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) untuk diri Wajib Pajak Orang Pribadi;
- Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk Wajib Pajak yang kawin;
- Rp13.200.00,00 (tiga belas juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk seorang istri yang penghasilannya digabung dengan penghasilan suami;
- Rp1.200.000,00 (satu juta dua ratus ribu rupiah) tambahan untuk setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus serta anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, paling banyak (3 (tiga) orang untuk setiap keluarga.
b) Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) mulai berlaku sejak tahun pajak 2006.
4) Tarif Pajak Penghasilan
Menurut UU Nomor 17 tahun 2000, tarif pajak yang ditetapkan atas penghasilan wajib pajak perseorangan (orang pribadi) dengan ketentuan sebagai berikut. Sementara itu, wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan sebagai berikut.

Sementara itu, wajib pajak badan dalam negeri dan bentuk usaha tetap ditentukan sebagai berikut.


Contoh Perhitungan Pajak Penghasilan

1) Jumlah Penghasilan Kena Pajak (PKP) Rp 120.000.000,00. Pajak Penghasilan terutang dihitung:



2) Seorang wajib pajak mempunyai penghasilan neto setiap tiga bulan Rp 24.320.000,00 wajib pajak tersebut berstatus kawin dan mempunyai 3 orang anak, sedangkan istrinya tidak mempunyai usaha. Dengan demikian perhitungan PPh sebagai berikut.


c. Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2000 tentang Pajak Pertambahan Nilai Barang dan Jasa, serta Pajak Penjualan Atas Barang Mewah

1) Objek Pajak

Menurut Pasal 4, yang menjadi objek Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah:

a) penyerahan barang kena pajak di dalam daerah Pabean yang dilakukan oleh pengusaha,
b) impor barang kena pajak,
c) penyerahan jasa kena pajak yang dilakukan di dalam daerah pabean oleh pengusaha,
d) pemanfaatan barang kena pajak tidak berwujud dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean,
e) pemanfaatan jasa kena pajak dari luar daerah pabean di dalam daerah pabean,
f) ekspor barang kena pajak oleh pengusaha kena pajak.

Menurut Pasal 5, di samping pengenaan PPN, dikenakan juga Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPn BM), yaitu:

a) penyerahan barang kena pajak yang tergolong mewah yang dilakukan oleh pengusaha yang menghasilkan barang kena pajak yang tergolong mewah tersebut di dalam daerah pabean dalam lingkungan perusahaan atau pekerjaannya,

b) impor barang kena pajak yang tergolong mewah.

2) Tarif PPN dan PPn BM

Menurut Pasal 7 UU Nomor 11 Tahun 2000, tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) adalah:

a) tarif Pajak Pertambahan Nilai adalah 10% (sepuluh persen),
b) tarif Pajak Pertambahan Nilai atas Ekspor Barang Kena Pajak adalah 0% (nol persen),
c) dengan peraturan pemerintah, tarif pajak dapat diubah serendah-rendahnya 5% (lima persen) dan setinggi-tingginya 15% (lima belas persen).

Tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah (PPn BM), menurut Pasal 8, adalah:

a) tarif Pajak Penjualan Atas Barang Mewah serendahrendahnya 10% (sepuluh persen) dan setinggitingginya 75% (tujuh puluh lima persen),
b) atas ekspor barang kena pajak yang tergolong mewah dikenakan pajak dengan tarif 0% (nol persen),
c) dengan peraturan pemerintah ditetapkan kelompok barang kena pajak yang tergolong mewah yang dikenakan PPn BM,
d) macam dan jenis barang yang dikenakan PPn BM atas barang kena pajak yang tergolong mewah ditetapkan oleh Menteri Keuangan.



d. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1994 tentang Pajak Bumi dan Bangunan

Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah pajak pusat yang hasil pemungutannya diserahkan ke pemerintah daerah, untuk membiayai pembangunan di wilayahnya.

1) Objek PBB

Objek pajak dalam Pajak Bumi dan Bangunan adalah bumi dan atau bangunan. Sementara itu, objek pajak yang tidak dikenakan Pajak Bumi dan Bangunan adalah:

a) Digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional yang tidak dimaksudkan untuk memperoleh keuntungan.
b) Digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala atau yang sejenis dengan itu.
c) Merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum dibebani hak.
d) Digunakan oleh perwakilan diplomat, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik.
e) Digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.

2) Tarif PBB

Tarif PBB yang dikenakan pada objek pajak adalah 0,5% dari Nilai Jual Objek Kena Pajak (NJOKP). Dan besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan sebesar Rp8.000.000,00 untuk setiap wajib pajak.

Adapun dasar pengenaan PBB adalah sebagai berikut.
a) Dasarnya adalah nilai jual objek pajak.
b) Besarnya nilai jual objek pajak ditetapkan 3 tahun sekali oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai dengan perkembangan daerahnya.
c) Dasar perhitungan pajak adalah Nilai Jual Objek Pajak Kena Pajak (NJOPKP) yang ditetapkan serendahrendahnya 20% dan setinggi-tingginya 100% dari Nilai Jual Objek Pajak (NJOP).
d) Besarnya nilai jual kena pajak ditetapkan dengan peraturan pemerintah dengan memperhatikan kondisi ekonomi nasional.


3) Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
Pembagian hasil penerimaan PBB diatur dalam Peraturan Pemerintah, namun pada garis besarnya penerimaan tersebut dibagi antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Ketentuan besarnya persentase (%) dan urutan pembagian hasil penerimaan PBB antara pemerintah pusat dan pemerintah daerah adalah sebagai berikut.
a) Hasil penerimaan PBB merupakan penerimaan Negara (100%).
b) 10% dari hasil penerimaan PBB, untuk pemerintah pusat dan disetor ke kas negara.
c) 90% dari hasil penerimaan PBB, untuk pemerintah daerah.
d) 90% untuk pemerintah daerah tersebut masih harus dikurangi dengan 10% untuk biaya pemungutan. Sisanya: - Untuk Pemerintah Daerah Tk I 20%
- Untuk Pemerintah Daerah Tk II 80%





e. Peraturan Pemerintah RI Nomor 24 Tahun 2000 tentang Bea Meterai

Berdasarkan peraturan pemerintah tersebut, besarnya bea meterai ditentukan sebagai berikut.

1) Surat perjanjian, akta notaris, akta PPAT, surat lamaran sebesar Rp 6.000,00.
2) Dokumen nominal Rp 250.000,00 – Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 3.000,00 lebih dari Rp 1.000.000,00 sebesar Rp 6.000,00.
3) Cek dan bilyet giro sebesar Rp 3.000,00.

Sebagai gambaran tentang besarnya penerimaan dari pajak negara, berikut ini disajikan perkembangan penerimaan beberapa jenis pajak-pajak negara dari tahun 2006–2007.



Jumat, 01 April 2016

                                                             BEA METERAI



Bea meterai adalah pajak yang dikenakan atas dokumen yang bersifat perdata dan dokumen untuk digunakan di pengadilan. Nilai bea meterai yang berlaku saat ini Rp. 3.000,00 dan Rp. 6.000,00 yang disesuaikan dengan nilai dokumen dan penggunaan dokumen.

Daftar isi

Karakteristik

  • Bea meterai tidak diperlukan nomor identitas baik untuk wajib pajak maupun objek pajak
  • Pembayaran bea meterai terjadi terlebih dahulu daripada saat terutang
  • Waktu pembayaran dapat dilakukan secara isidentil dan tidak terikat waktu

Jenis bea meterai

  1. Benda meterai adalah meterai tempel dan kertas meterai yang dikeluarkan oleh Pemerintah Republik Indonesia
  2. Pemeteraian kemudian adalah pelunasan bea meterai yang dilakukan pejabat pos atas dokumen yang bea meterai belum dilunasi.

Obyek bea meterai

Bea meterai dikenakan terhadap dokumen yang berbentuk:
  1. Surat perjanjian dan surat-surat lain yang dibuat dengan tujuan sebagai pembuktian mengenai perbuatan, kenyataan atau keadaan yang bersifat perdata
  2. Akta-akta notaris beserta salinan-salinannya
  3. Akta-akta pejabat pembuat akta tanah beserta rangkap-rangkapnya
  4. Surat berharga
  5. Efek
  6. Dokumen yang digunakan untuk pembuktian di pengadilan.

Tidak dikenakan bea meterai

Secara umum dokumen yang tidak dikenakan bea meterai adalah dokumen yang berhubungan dengan transaksi internal perusahaan, berkaitan dengan pembayaran pajak dan dokumen Negara. Dokumen yang tidak termasuk objek Bea Meterai adalah:
  • Dokumen yang berupa:
  1. surat penyimpanan barang;
  2. konosemen;
  3. surat angkutan penumpang dan barang;
  4. keterangan pemindahan yang dituliskan diatas dokumen surat penyimpanan barang, konosemen, dan surat angkutan penumpang dan barang;
  5. bukti untuk pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
  6. surat pengiriman barang untuk dijual atas tanggungan pengirim;
  7. surat-surat lainnya yang dapat disamakan dengan surat-surat di atas.
  • Segala bentuk ijazah
  • Tanda terima gaji, uang tunggu, pensiun, uang tunjangan dan pembayaran lainnya yang ada kaitannya dengan hubungan kerja serta surat-surat yang diserahkan untuk mendapatkan pembayaran itu.
  • Tanda bukti penerimaan uang negara dan kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
  • Kuitansi untuk semua jenis pajak dan untuk penerimaan lainnya yang dapat disamakan dengan itu ke kas negara, kas pemerintah daerah dan bank.
  • Tanda penerimaan uang yang dibuat untuk keperluan intern organisasi.
  • Dokumen yang menyebutkan tabungan, pembayaran uang tabungan kepada penabung oleh bank, koperasi, dan badan-badan lainnya yang bergerak di bidang tersebut.
  • Surat gadai yang diberikan oleh Perum Pegadaian.
  • Tanda pembagian keuntungan atau bunga dan Efek, dengan nama dan bentuk apapun.

Referensi

  1. ^ Pasal 1 dan Pasal 2 UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.
  2. ^ Pasal 1 ayat 2 UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai.
  3. ^ Pasal 2 UU No. 13 Tahun 1985 Tentang Bea Meterai jo. Pasal 1 PP No. 24 Tahun 2000 Tentang Perubahan Tarif Bea Meterai dan Besarnya Batas Pengenaan Harga Nominal yang Dikenakan Bea Meterai.
  4. ^ Meterai, diakses pada 30 Desember 2014.

Sabtu, 26 Maret 2016

Subyek pajak

Subjek pajak adalah istilah dalam peraturan perundang-undangan perpajakan untuk perorangan (pribadi) atau organisasi (kelompok) berdasarkan peraturan perundang-undangan perpajakan yang berlaku. Seseorang atau suatu badan merupakan subjek pajak, tapi bukan berarti orang atau badan itu punya kewajiban pajak. Kalau dalam peraturan perundang-undangan perpajakan tertentu seseorang atau suatu badan dianggap subjek pajak dan mempunyai atau memperoleh objek pajak, maka orang atau badan itu jadi punya kewajiban pajak dan disebut wajib pajak.

Daftar isi

Undang-undang nomor 17 tahun 2000 tentang Pajak Penghasilan

Dalam Undang-undang nomor 17 tahun 2000 mengenai perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1983 tentang pajak penghasilan, subjek pajak terdiri dari tiga jenis, yaitu orang pribadi, badan, dan warisan. Subjek pajak juga digolongkan menjadi subjek pajak dalam negeri dan subjek pajak luar negeri. ,,,,

Subjek pajak dalam negeri

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak dalam negeri adalah salah satu di bawah ini:
  1. orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia;
  2. orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia;
  3. badan yang didirikan atau bertempat kedudukan di Indonesia;
  4. warisan yang belum terbagi sebagai satu kesatuan, menggantikan yang berhak.[1]

Subjek pajak luar negeri

Yang dimaksud dengan Subjek Pajak luar negeri adalah salah satu di bawah ini:
  1. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
  2. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
  3. orang pribadi yang tidak bertempat tinggal di Indonesia atau berada di Indonesia tidak lebih dari 183 (seratus delapan puluh tiga) hari dalam jangka waktu 12 (dua belas) bulan, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia;
  4. badan yang tidak didirikan dan tidak bertempat kedudukan di Indonesia, yang dapat menerima atau memperoleh penghasilan dari Indonesia bukan dari menjalankan usaha atau melakukan kegiatan melalui bentuk usaha tetap di Indonesia.[1]

Subjek Pajak Pribadi

Subjek pajak pribadi yaitu orang pribadi yang bertempat tinggal di Indonesia, orang pribadi yang berada di Indonesia lebih dari 183 hari dalam jangka waktu 12 bulan, atau orang pribadi yang dalam suatu tahun pajak berada di Indonesia dan mempunyai niat untuk bertempat tinggal di Indonesia

Rabu, 16 Maret 2016

. Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)


Jenis pajak properti yang akan kita bahas pertama kali adalah Pajak Bumi dan Bangunan (PBB). PBB adalah pajak yang bersifat kebendaan dalam arti besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek yaitu bumi dan atau bangunan. Keadaan subjek tidak ikut menentukan besarnya pajak.
ADVERTISEMENT
PBB pada awalnya merupakan pajak pusat yang alokasi penerimaannya dialokasikan ke daerah-daerah dengan proporsi tertentu, namun demikian dalam perkembangannya berdasarkan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009 tentang PDRD pajak ini khususnya sektor perkotaan dan pedesaan menjadi sepenuhnya pajak daerah.
Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan
Landasan Filosofi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah sebagai berikut:
  • Bahwa pajak merupakan sumber penerimaan negara yang penting bagi pelaksanaan dan peningkatan pembangunan nasional untuk meningkatkan kemakmuran dan kesejahteraan rakyat, oleh sebab itu perlu peningkatan peran serta masyarakat,
  • Bahwa bumi dan bangunan memberikan keuntungan dan/atau kedudukan sosial ekonomi yang lebih baik bagi orang/badan yang mempunyai suatu hak atasnya atau memperoleh manfaat darinya, oleh sebab itu wajar apabila kepada mereka diwajibkan memberikan sebagian dari manfaat atau kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui pajak.
Pengertian dan Dasar hukum PBB
PBB dikenakan terhadap objek pajak berupa tanah dan atau bangunan yang didasarkan pada azas kenikmatan  dan manfaat, dan dibayar setiap tahun. PBB pengenaannya didasarkan padaUndang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994. Namun demikian dalam perkembangannya PBB sektor pedesaan dan perkotaan menjadi pajak daerah yang diatur dalam Undang-Undang No.28 Tahun 2009 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (PDRD) Pasal 77 sampai dengan Pasal 84 mulai tahun 2010.
Dalam bab I diatur tentang Ketentuan Umum yang memberikan penjelasaan tentang istilah-istilah teknis atau definisi-definisi PBB seperti pengertian :
  1. Bumi adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Pengertian ini berarti bukan hanya tanah permukaan bumi saja tetapi betul-betul tubuh bumi dari permukaan sampai dengan magma, hasil tambang, gas material yang lainnya.
  2. Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara  tetap pada tanah dan/atau perairan.
Dalam pasal 77 ayat (2) Undang-Undang PDRD, disebutkan bahwa termasuk dalam pengertian bangunan adalah :
  • jalan lingkungan yang terletak dalam suatu kompleks bangunan seperti hotel, pabrik, dan emplasemennya dan lain-lain yang satu kesatuan dengan kompleks bangunan tersebut,
  • jalan TOL,
  • kolam renang,
  • pagar mewah,
  • tempat olah raga,
  • galangan kapal, dermaga,
  • taman mewah,
  • tempat penampungan/kilang minyak, air dan gas, pipa minyak,
  • fasilitas lain yang memberikan manfaat. 
Objek PBB
Objek PBB adalah bumi dan/atau bangunan, dimana pengertian bumi dan/atau bangunan adalah sebagai berikut :
Bumi adalah permukaan bumi yang meliputi tanah dan perairan pedalaman serta laut wilayah Indonesia, dan tubuh bumi yang ada dibawahnya. Bangunan, adalah kontruksi teknik yang di tanam atau di lekatkan secara tetap pada tanah dan/atau perairan.
Tidak semua objek bumi dan bangunan akan dikenakan PBB, ada juga objek yang di kecualikan dari pengenaan PBB adalah apabila sebagai berikut :
  • digunakan semata-mata untuk melayani kepentingan umum di bidang ibadah, sosial, kesehatan, pendidikan dan kebudayaan nasional, yang tidak dimaksud-kan untuk memperoleh keuntungan,
  • digunakan untuk kuburan, peninggalan purbakala, atau yang sejenis dengan itu,
  • merupakan hutan lindung, hutan suaka alam, hutan wisata, taman nasional, tanah penggembalaan yang dikuasai oleh desa, dan tanah negara yang belum di bebani suatu hak,
  • digunakan oleh perwakilan diplomatik, konsulat berdasarkan asas perlakuan timbal balik,
  • digunakan oleh badan atau perwakilan organisasi internasional yang ditentukan oleh Menteri Keuangan.
Objek pajak yang digunakan oleh negara untuk penyelenggaraan pemerintahan, penentuan pengenaan pajaknya diatur lebih lanjut dengan Peraturan Pemerintah.
Subjek PBB
Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau  memiliki, menguasai, dan/atau  memperoleh manfaat atas bangunan. Melihat pengertian subjek pajak tersebut, tidak jarang ada objek pajak yang diakui oleh lebih dari satu orang subjek pajak, yang berarti ada satu objek pajak tetapi memiliki beberapa wajib pajak. Bagaimana kalau hal ini terjadi, apakah semua menjadi terhutang PBB?
Apabila terjadi statu kejadian dimana satu objek pajak dimiliki/dikuasai oleh beberapa subjek pajak atau satu objek pajak belum diketahui dengan jelas siapa Wajib Pajaknya, maka hal pertama yang perlu dilakukan adalah melihat perjanjian (agreement) antara para pihak yang berkepentingan terhadap objek pajak tersebut. Dalam perjanjian tersebut  salah satu pasalnya biasanya membahas siapa yang akan melakukan kewajiban pembayaran pajak termasuk pajak Bumi dan Bangunan. Apabila dalam perjanjian tidak disebutkan atau memang terjadi lebih dari satu yang memanfaatkan objek pajak sehingga belum diketahui siapa yang menjadi wajib pajak Direktorat Jenderal Pajak dapat menetapkan subjek pajaknya (UU No 12 tahun 1994 Pasal 4 ayat 3).
Pertanyaan berikutnya yang muncul adalah, apakah setiap yang membayar PBB adalah pemilik atas objek pajak tersebut? Surat tanda pemberitahuan atau dikenal dengan sebutan SPPT (Surat Pembayaran Pajak Terhutang) atau bukti pelunasan bukanlah bukti pemilikan hak. Surat Tagihan Pajak atau bukti pembayaran PBB adalah semata mata untuk kepentingan perpajakan dan tidak ada kaitannya dengan status atau hak pemilikan atas tanah dan/atau bangunan.
Penilaian
Berbicara masalah PBB tidak akan terlepas dari nilai properti itu sendiri. Karena besarnya PBB yang akan dibayarkan oleh WP akan tergantung pada nilainya. Penilaian objek PBB pedesaan dan perkotaan meliputi penilaian objek tanah dan bangunan yang dilakukan oleh Ditjen Pajak (pemerintah daerah menurut UU No. 28 Tahun 2009) untuk menentukan NJOP yang akan dijadikan sebagai dasar pengenaan pajak.
Untuk menilai objek properti tersebut digunakan beberapa metode penilaian sebagai berikut:
1. Pendekatan Data Pasar (Market Data Approach).
  • NJOP dihitung dengan cara membandingkan Objek pajak yang sejenis dengan Objek lain yang telah diketahui harga pasarnya.
  • Pendekatan ini pada umumnya digunakan untuk menentukan NJOP tanah, namun dapat juga dipakai untuk menentukan NJOP bangunan.
2. Pendekatan Biaya (Cost Approach).
Pendekatan ini digunakan untuk menentukan nilai tanah atau bangunan terutama untuk menentukan NJOP bangunan dengan menghitung seluruh biaya yang dikeluarkan untuk membuat bangunan baru yang sejenis dikurangi dengan penyusutan phisiknya.
3. Pendekatan Pendapatan (Income Approach)
  • Pendekatan ini digunakan untuk menentukan NJOP yang tidak dapat dilakukan berdasarkan pendekatan data pasar atau pendekatan biaya, tetapi ditentukan berdasarkan hasil bersih objek pajak tersebut,
  • Pendekatan ini terutama digunakan untuk menentukan NJOP galian tambang atau objek perairan.
Jenis Objek Pajak
1. Objek Pajak Umum yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi bangunan umum dengan luas tanah berdasarkan kriteria tertentu. Objek pajak umum sendiri dibedakan menjadi:
A. Objek pajak standar, kriteria untuk objek pajak ini adalah:
  • Luas tanah ≤ 10.000 m²
  • Jumlah lantai bangunan ≤ 4 lantai
  • Luas bangunan ≤ 1000 m²
B. Objek pajak non standar, kriterianya ialah:
  • Luas tanah ≥ 10.000 m²
  • Jumlah lantai bangunan ≥ 4 lantai
  • Luas bangunan ≥ 1000 m²
2. Objek Pajak Khusus yaitu objek pajak yang memiliki kriteria konstruksi bangunan khusus. Kriteria bangunan khusus ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk dan keberadaannya yang memiliki arti khusus. Contoh objek pajak khusus adalah pelabuhan, Bandar udara, jalan tol, tempat wisata, dan lain-lain.
Pendataan Objek Pajak
Proses awal sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus dilakukan proses pendataan, yaitu proses pengumpulan data objek yang nantinya akan digunakan untuk melakukan penilaian dan penetapan PBB. Pelaksanaan pendataan ini dilakukan dengan menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) untuk objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP) jika ada bangunannya, sedangkan untuk data-data tambahan dilakukan dengan menggunakan Lembar Kerja Objek Khusus (LKOK) atau pun dengan lembar catatan lain yang menampung informasi tambahan  sesuai keperluan penilaian masing-masing objek pajak.
SOP
Nomor Objek Pajak (NOP)
Pada setiap objek yang telah di data akan di berikan penomoran yang bersifat unik dan permanen yang disebut dengan Nomor Objek Pajak (NOP), dimana nomor ini yang akan mengidentifikasi setiap objek pajak. Nomor ini bersifat unik, dimana setiap objek di berikan satu nomor yang berbeda dengan objek yang lainnya dan bahkan nomor objek ini tidak ada yang sama di seluh wilayah Indonesia.
Selain unik nomor ini juga bersifat permanen dimana nomor ini akan tetap selama objek tersebut tidak mengalami perubahan walaupun berubah nama subjek pajaknya, misalnya dalam kasus jual beli tanah antara A dan B, B sebagai pembeli tanah akan mempunyai Nomor Objek Pajak atas objek pajak yang sama dengan pada waktu dimiliki oleh A sebagai penjual tanah. Contoh pemberian NOP untuk objek pajak adalah sebagai berikut ini.
  • Misalnya sebidang tanah memiliki NOP sebagai berikut 31.73.050.001.004-0056.0,
  • Kode 31.73.050.001 adalah kode wilayah kelurahan Rawasari, kecamatan Cempaka Putih, Jakarta Pusat,
  • Kode 004 adalah kode blok 004 di kelurahan tersebut,
  • Kode 0056 adalah nomor urut 0056 di blok tersebut,
Tanda khusus 0, adalah penomoran objek tertentu untuk mempermudah identifikasi dan pengelompokan objek pajak, misalnya kode 9, untuk objek jenis strata title (penggunaan bersama misal rumah susun/ appartemen).
NOP
Penilaian Objek Pajak
Demi efektifitas dan efisiensi administrasi mengingat jumlah objek pajak yang diadministrasikan sangat banyak dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia, sedangkan jumlah tenaga penilai dan waktu pelaksanaan penilaian yang tersedia sangat terbatas, maka pelaksanaan penilaian dilakukan dengan 2 (dua) cara, yaitu penilaian massal yang diterapkan bagi objek dengan kriteria standar dan penilaian secara individual yang diterapkan untuk objek pajak non-standar dan objek khusus. Pembedaan ini lebih ditekankan pada nilai ekonomis dan potensi pengenaan pajak dari objek yang bersangkutan.
1. Penilaian Massal.
Dalam cara penilaian ini NJOP bumi dihitung berdasarkan Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) yang terdapat pada setiap Zona Nilai Tanah (ZNT). ZNT adalah zona geografis yang terdiri dari sekelompok objek pajak yang memiliki NIR sama dan dibatasi oleh batas penguasaan/pemilikan objek pajak dalam satu wilayah administrasi pemerintahan. Sedangkan NJOP bangunan dihitung berdasarkan Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB). Perhitungan penilaian massal dilakukan terhadap objek pajak dengan menggunakan program komputer konstruksi umum (Computer Assisted Valuation/CAV).
NIR
2. Penilaian Individual
Cara penilaian ini diterapkan untuk objek pajak yang bernilai tinggi, baik  objek pajak khusus, ataupun objek pajak umum yang telah dinilai dengan CAV namun hasilnya tidak mencerminkan nilai yang sebenarnya karena keterbatasan aplikasi program.
Proses penghitungan nilai dilaksanakan dengan menggunakan formulir penilaian  yang tersedia khusus untuk masing-masing jenis penggunaan. Setiap penilaian harus memperhatikan tanggal penilaian yang menjadi dasar ketetapan Pajak Bumi dan Bangunan yaitu per 1 Januari tahun pajak yang bersangkutan sebagaimana diatur dalam pasal 82 ayat 2 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2009.
Pelaksanaan Penilaian
Pelaksanaan penilaian terhadap objek pajak dilakukan secara massal atau secara individual dalam proses pelaksanaan dilakukan melalui cara sebagai berikut :
a. Penilaian tanah.
Dalam proses penentuan nilai tanah, maka pelaksanaan penilaiannya dimulai dengan pembuatan konsep sket/peta ZNT dan penentuan nilai indikasi rata-rata (NIR) menggunakan metode perbandingan data pasar. Peta ZNT ini dibuat per satuan desa/kelurahan yang dituangkan dalam suatu peta dengan dibuat warna khusus yang membatasi setiap ZNT.  Nilai bumi ditentukan terlebih dahulu melalui perbandingan dengan data pasar tanah di lingkungan sekitar. Data pasar tanah tersebut dapat diperoleh dari berbagai sumber seperti broker, penjual langsung, lelang, PPAT dan lain-lain.
Tanah
Kemudian setiap data di atas diberikan penyesuaian untuk memperoleh estimasi nilai pasar.pasarb. Penilaian bangunan diawali dengan penyusunan Daftar Biaya Komponen Bangunan (DBKB).
Untuk menyusun atau membuat DBKB digunakan metode survai kuantitas terhadap model bangunan yang dianggap dapat mewakili kelompok bangunan tersebut dan dinilai dengan dasar perhitungan analisa BOW (Burgelijke Openbare Werken). Dengan menggunakan survai kuantitas dan dasar perhitungan analisis BOW yang merupakan perhitungan dengan pendekatan biaya, akan diperoleh biaya pembuatan baru bangunan atau biaya penggantian baru dari bangunan. Sehubungan dengan kebutuhan program komputer, maka biaya komponen bangunan perlu dikelompokkan kedalam biaya komponen utama, komponen material dan komponen fasilitas bangunan. Metode survai kuantitas dipilih menjadi dasar  metode yang dipergunakan karena metode inilah yang paling mendasar bila dibandingkan dengan metode perhitungan yang lain, seperti metode unit terpasang, metode meter persegi dan metode indeks.
Penghitungan harga satuan pekerjaan dalam analisa ini menggunakan analisa BOW karena cara ini merupakan satu-satunya cara untuk mendapatkan keseragaman penghitungan biaya pembuatan baru bangunan. Karena cara ini akan memberikan hasil yang lebih tinggi bila dibandingkan dengan cara penghitungan biaya pemborongan pekerjaan di lapangan, maka dalam perhitungan ini  digunakan faktor koreksi.
bng
Konstruksi bangunan sebagai satu kesatuan terdiri dari beberapa biaya satuan pekerjaan. Biaya satuan pekerjaan tersebut dikelompokkan dalam 3 (tiga) komponen, yaitu biaya komponen utama, biaya komponen material dan biaya pembuatan fasilitas. Keseluruhan komponen tersebut disusun dalam suatu daftar yang disebut sebagai daftar biaya komponen bangunan (DBKB).
Dalam penerapan DBKB ini, objek-objek berupa bangunan yang dinilai dilakukan pengelompokan berdasarkan jenis penggunaan bangunan (JPB) sesuai dengan tipe konstruksinya. Dalam hal ini ada 16 jenis pengelompokan.
Proses Penghitungan Nilai
Setelah dilakukan validasi terhadap data yang terdapat dalam SPOP dan LSPOP maka selanjutnya dilakukan perhitungan nilai. Proses CAV dapat dilakukan apabila data ZNT, DBKB objek pajak standar dan data objek (SPOP dan LSPOP) sudah tersedia.
1.  Penghitungan nilai tanah
NIR diketahui berdasarkan kode ZNT sebagaimana tercantum dalam SPOP. Untuk menentukan nilai objek pajak bumi, NIR dicari dalam tabel ZNT berdasarkan kode ZNT, kemudian dikalikan dengan luas bumi. Contoh : jika Nilai Indikasi Rata-rata (NIR) adalah Rp 300.000,- dan luas tanah = 100 m2, maka NJOP bumi = 100m2 x Rp 300.000,- = Rp 30.000.000,-
2. Penghitungan nilai bangunan
Dalam pelaksanaan perhitungan nilai bangunan, harus ditentukan besarnya nilai komponen bangunan menurut masing-masing karateristik objek tersebut. NJOP bangunan ditentukan berdasarkan pada :
  • Kelas/tipe/bintang dari bangunan.
  • Komponen utama bangunan.
  • Komponen material bangunan.
  • Komponen fasilitas bangunan.
  • Komponen fasilitas yang perlu disusutkan.
  • Penyusutan. Tingkat penyusutan bangunan berdasarkan umur efektif, keluasan dan kondisi bangunan.
Dasar Pengenaan PBB
Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). NJOP ditetapkan setiap tiga tahun oleh Menteri Keuangan, kecuali untuk daerah tertentu ditetapkan setiap tahun sesuai perkembangan daerahnya. Penentuan NJOP ini dilakukan dengan melakukan penilai terhadap objek pajak baik yang dilakukan secara masal atau individual.
Istilah NJOP ini telah luas beredar di masyarakat bahwa NJOP sama dengan nilai transaksi atau dianggap sebagai harga dasar tanah, terutama apabila terjadi pembebasan tanah atau apabila masyarakat menawarkan tanahnya untuk di jual dengan berpedonan pada NJOP yang tercantum dalam SPPT PBB. Secara tegas Undang-Undang No 12 tahun 1994 menjelaskan yang dimaksud dengan NJOP mempunyai pengertian sebagai berikut:
“Harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual beli, NJOP ditentukan melalui perbandingan harga dengan objek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual objek pajak pengganti”.
Penentuan NJOP
Penentuan besarnya NJOP adalah proses penting mengingat NJOP ini yang akan menentukan besarnya pajak yang di bayar oleh masyarakat. Dalam Keputusan Direktur Jenderal No. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 dijelaskan bagaimana menentukan besarnya NJOP untuk setiap sektor PBB. Dalam Keputusan tersebut diatur sebagai berikut :
1. NJOP atas Sektor Pedesaan/Perkotaan
Sektor Pedesaan/Perkotaan adalah Obyek PBB yang meliputi kawasan pertanian, perumahan, perkantoran, pertokoan, industri serta obyek khusus perkotaan. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor pedesaan/ perkotaan ditentukan sebagai berikut:
  1. Obyek Pajak berupa tanah adalah sebesar nilai konversi setiap Zona Nilai Tanah (ZNT) ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual permukaan bumi (tanah) sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998
  2. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
2. NJOP atas Sektor Perkebunan
Sektor Perkebunan adalah Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan benih, penanaman baru, perluasan, perubahan jenis tanaman, keragaman jenis tanaman termasuk sarana penunjangnya. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor perkebunan ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal kebun adalah sebesar NJOP berupa tanah ditambah dengan Jumlah Investasi Tanaman Perkebunan sesuai dengan Standar Investasi menurut umur tanaman,
  2. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan perkebunan adalah sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
3. NJOP atas Sektor Kehutanan
Sektor Kehutanan adalah Obyek PBB yang meliputi areal pengusahaan hutan dan budidaya hutan. Besarnya NJOP atas obyek pajak sektor kehutanan ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal hutan adalah sebesar NJOP berupa tanah ditambah dengan Jumlah Biaya Pembangunan Hutan Tanaman Industri menurut umur tanaman,
  2. Areal emplasemen dan areal lainnya dalam kawasan hutan adalah sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
4. NJOP atas Sektor Pertambangan
Sektor Pertambangan adalah Obyek PBB yang meliputi areal usaha penambangan bahan-bahan galian dari semua golongan yaitu bahan galian strategis, bahan galian vital dan bahan galian lainnya.
5. NJOP atas Sektor Perikanan
Usaha Bidang Perikanan adalah semua usaha perorangan atau badan yang memiliki ijin usaha untuk menangkap atau membudidayakan sumber daya ikan, termasuk semua jenis ikan dan biota perairan lainnya serta kegiatan menyimpan, mendinginkan atau mengawetkan ikan untuk tujuan komersial. Besarnya NJOP atas obyek pajak usaha bidang perikanan laut ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal penangkapan ikan adalah 10 x hasil bersih ikan dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan,
  2. Areal pembudidayaan ikan adalah 8 x hasil bersih ikan dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan,
  3. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar NJOP berupa tanah sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  4. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi biaya pembangunan baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
Sedangkan besarnya NJOP atas obyek pajak usaha bidang perikanan laut ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal pembudidayaan ikan darat adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya ditambah standar biaya investasi tambak menurut jenisnya,
  2. Areal emplasemen dan areal lainnya adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  3. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
6. NJOP atas Objek Pajak yang Bersifat Khusus
Obyek Pajak Khusus adalah obyek pajak yang memiliki jenis konstruksi khusus baik ditinjau dari segi bentuk, material pembentuk maupun keberadaanya memiliki arti khusus seperti: lapangan golf, pelabuhan laut, pelabuhan udara, jalan tol, pompa bensin, dan lain-lain. Besarnya NJOP atas obyek pajak yang bersifat khusus ditentukan sebagai berikut:
  1. Areal tanah adalah sebesar NJOP berupa tanah di sekitarnya dengan penyesuaian seperlunya,
  2. Areal perairan untuk kepentingan pelabuhan, industri, lapangan golf serta tempat rekreasi adalah sebesar nilai jual yang ditentukan berdasarkan korelasi garis lurus ke samping dengan klasifikasi NJOP permukaan bumi berupa tanah sekitarnya,
  3. Areal perairan untuk kepentingan PLTA adalah sebesar 10 x (10% dari Hasil bersih dalam satu tahun sebelum tahun pajak berjalan),
  4. Obyek Pajak berupa bangunan adalah sebesar nilai konversi baru setiap jenis bangunan setelah dikurangi penyusutan fisik berdasarkan metode penilaian ke dalam klasifikasi, penggolongan dan ketentuan nilai jual bangunan sebagaimana diatur dengan Keputusan Menteri Keuangan Nomor 523/KMK.04/1998.
njop
Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP)
Pelaksanaan perhitungan pengenaan pajak PBB ditentukan  berdasarkan  Nilai Jual Objek Pajak (NJOP) setelah dikurangi dengan NJOP Tidak Kena Pajak sebagaimana diatur dalam Keputusan Menteri Keuangan R I. Nomor : 201/KMK.04/2000 tentang Penyesuaian Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak Sebagai Dasar Penghitungan PBB.
Setiap wajib pajak diberikan 1 kali Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP). Apabila seorang Wajib Pajak mempunyai lebih dari 1 objek pajak, maka sesuai penjelasan UU PBB, yang diberikan NJOPTKP hanya salah satu objek pajak yang nilainya terbesar.
Besarnya  Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) sebagaimana dimaksud dalam keputusan ini ditetapkan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 untuk setiap wajib pajak. Batasan setinggi-tingginya Rp 12.000.000,00 mengandung maksud bahwa apabila ada Daerah Tingkat II atau Kabupaten / Kota yang ingin menetapkan  NJOP TKPnya disesuaikan dengan kondisi, lingkungan ekonominya, kurang dari Rp 12.000.000,00, misalnya Daerah Bekasi menetapkan Rp 8.000.000,00, Semarang Rp 6.000.000,00, dan sebagainya hal ini masih diperkenankan.
Penetapan besarnya NJOP TKP sebagaimana dimaksud dalam Peraturan tersebut di atas untuk setiap daerah Kabupaten / Kota, ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak atas nama Menteri Keuangan dengan mempertimbangkan pendapat Pemerintah Daerah setempat. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,00 dan penetapannya dilakukan oleh masing-masing Kepala Daerah.
Dasar Perhitungan PBB dan Nilai Jual Kena Pajak (NJKP)
Dasar  perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Berdasarkan Peraturan Pemerintah  Nomor 25 tahun 2002 tanggal 13 Mei 2002 Tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak  Untuk Penghitungan PBB, maka besarnya Nilai Jual Kena Pajak (NJKP) untuk perhitungan PBB ditentukan sebagai berikut:
1. Sebesar 40% dari NJOP untuk:
  • Objek Pajak Perkebunan,
  • Objek Pajak Kehutanan,
  • Objek Pajak Pertambangan,
  • Objek PBB lainnya  apabila NJOP ≥ 1 milyar rupiah,
2. Sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar rupiah. Sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 dalam perhitungan PBB tidak lagi mengenal besarnya NJKP.
Tarif PBB
Tarif PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah tetap sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
Perhitungan PBB
Perhitungan PBB berdasarkan Undang-undang No. 12 tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah sebagai berikut:
tarif
Sedangkan perhitungan PBB menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 81 adalah sebagai berikut:
tarif baru
NJOP dikelompokkan kedalam klas-klas yang disebut dengan klasifikasi NJOP baik untuk bumi maupun bangunan. Klasifikasi NJOP bumi terdiri dari 2(dua) kelompok yaitu kelompok A (50 klas) dengan klas tertinggi Rp. 3.100.000,- per m2 dan klas terendah Rp. 140,- per m2 dan kelompok B (50 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 68.545.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 3.375.000,- per m2.
Klasifikasi NJOP bangunan terdiri dari 2 (dua) kelompok yaitu kelompok A (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 1.200.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 50.000,- per m2 dan kelompok B (20 klas) dengan klas tertinggi sebesar Rp. 15.250.000,- per m2 dan klas terendah sebesar Rp. 1.516.000,- per m2.
Dasar Penagihan PBB
Dasar penagihan PBB terdiri dari tiga macam yaitu:
1. Surat Pemberitahuan Pajak Terhutang (SPPT)
SPPT adalah surat yang digunakan oleh pemerintah untuk memberitahukan besarnya pajak yang terhutang kepada Wajib Pajak. Surat pemberitahuan ini diterbitkan berdasarkan Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP). Pajak yang terhutang harus dilunasi selambat-lambatnya 6 bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
2. Surat Tagihan Pajak (STP).
STP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:
  • Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam SPPT, yaitu melampaui batas waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal diterimanya SPPT oleh Wajib Pajak.
  • Wajib Pajak terlambat membayar utang pajaknya seperti tercantum dalam skp, yaitu melampaui batas waktu 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya surat keputusan oleh Wajib Pajak.
  • Wajib Pajak melunasi pajak yang terutang setelah lewat saat jatuh tempo pembayaran PBB, tetapi denda administrasi tidak dilunasi.
Saat jatuh tempo STP adalah  satu bulan sejak diterimanya STP oleh Wajib Pajak. Konsekuensi jika saat jatuh tempo STP terlampaui adalah adanya denda administrasi dalam STP. Besarnya denda administrasi karena Wajib Pajak terlambat membayar pajaknya, melampaui batas waktu jatuh tempo SPPT adalah sebesar 2% sebulan yang dihitung dari saat jatuh tempo sampai dengan hari pembayaran untuk jangka waktu paling lama 24 (dua puluh empat) bulan.
3. Surat Ketetapan Pajak (skp).
SKP dapat diterbitkan karena memenuhi beberapa kriteria sebagai berikut apabila:
  • Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) yang disampaikan melewati 30 (tiga puluh) hari setelah diterimanya SPOP oleh Wajib Pajak dan setelah ditegur secara tertulis ternyata tidak dikembalikan oleh Wajib Pajak sebagaimana ditentukan dalam Surat Teguran.
  • Berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya ternyata jumlah pajak yang terutang lebih besar dari jumlah pajak berdasarkan SPOP yang dikembalikan Wajib Pajak.
Pajak Yang terutang berdasarkan skp harus dilunasi selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sejak tanggal diterimanya SKP oleh Wajib Pajak. Jadi, bila seorang Wajib Pajak menerima SKP pada tanggal 1 Maret 2009, ia sudah harus melunasi PBB selambat-lambatnya tanggal 31 maret 2009. Tanggal 31 Maret 2009 ini disebut juga tanggal jatuh tempo SKP.
Jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh pengembalian SPOP Lewat 30 (tiga puluh) hari setelah diterima Wajib Pajak adalah sebesar pokok pajak ditambah dengan denda administrasi 25% dihitung dari pokok pajak.
Sedangkan jumlah pajak yang terutang dalam SKP yang penerbitannya disebabkan oleh hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya, adalah selisish pajak yang terutang berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lainnya dengan pajak yang terutang berdasarkan SPOP ditambah denda administrasinya 25% dari selisih pajak yang terutang.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Keberatan
Hal yang mendasari pengajuan keberatan oleh Wajib Pajak adalah:
1. Wajib Pajak merasa bahwa besarnya pajak terutang pada SPPT atau SKP tidak sesuai dengan keadaan objek pajak yang sebenarnya. Hal ini terjadi karena ada beberapa kesalahan seperti:
  • kesalahan pada luas tanah/luas bangunan,
  • kesalahan klasifikasi tanah dan atau bangunan,
  • kesalahan pada penetapan/pengenaan pajak terutang,
2. Terdapat perbedaan penafsiran mengenai peraturan perundang-undangan tentang pajak (PBB) antara Wajib Pajak dengan aparat, misalnya:
  • Penetapan Subjek Pajak sebagai Wajib Pajak,
  • Objek Pajak yang tidak dikenakan PBB.
3. Syarat formal pengajuan keberatan adalah sebagai berikut:
  1. Diajukan secara tertulis dalam bahasa Indonesia dan diajukan kepada Kepala KPP Pratama yang menerbitkan SPPT/SKP dengan melampirkan SPPT/SKP (asli/Foto copy) dan surat kuasa dalam hal dikuasakan pada pihak lain.
  2. Diajukan masing-masing setiap tahun dengan alasan yang  jelas dan mencantumkan besarnya PBB menurut  perhitungan Wajib Pajak.
  3. Diajukan dalam jangka waktu paling lama 3 bulan terhitung sejak tanggal diterimanya SPPT/SKP oleh Wajib Pajak, kecuali dapat menunjukkan alasan  diluar kekuasaannya.
  1. WP dapat memperkuat alasan keberatannya dengan cara melampirkan bukti pendukung antar lain :
  • Foto Copy Kartu Tanda Penduduk, Kartu Keluarga, atau bukti identitas WP lainnya.
  • Foto Copy bukti pelunasan PBB tahun terakhir.
  • Fot Copy bukti pemilikan hak atas tanah/sertifikat ;
  • Foto Copy bukti surat ukur/gambar situasi;
  • Foto Copy Akte jual beli / segel;
  • Foto Copy surat Penunjukan Kaveling;
  • Foto Copy Ijin Mendirikan Bangunan;
  • Foto Copy Ijin Penggunaan Bangunan ;
  • Surat keterangan Lurah / Kepala  Desa;
  • Foto copy bukti resmi lainnya.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Banding
Wajib Pajak yang tidak atau belum puas terhadap Keputusan atas penolakan keberatan yang diajukannya, maka dapat mengajukan banding kepada badan peradilan pajak. Adapun syarat pengajuan banding adalah sebagai berikut:
  • Diajukan dalam jangka waktu 3 bulan sejak keputusan atas keberatan,
  • Tertulis dalam bahasa Indonesia dengan alasan yang jelas,
  • Dilampiri surat keputusan atas keberatan.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pengurangan
Pengurangan atau pemberian keringanan pajak terutang dapat diberikan kepada Wajib Pajak dalam hal:
  1. Wajib Pajak orang pribadi atau badan karena kondisi tertentu objek pajak yang ada hubungannya dengan subjek pajak dan atau karena sebab-sebab tertentu lainnya. Besarnya pengurangan yang diperbolehkan adalah setinggi-tingginya 75%, berdasarkan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan mengingat penghasilan Wajib Pajak dan besar PBB-nya.
  2. Wajib Pajak orang pribadi dalam hal objek pajak terkena bencana alam seperti gempa bumi, banjir, tanah longsor, gunung meletus dan sebagainya serta sebab-sebab lain yang luar biasa seperti kebakaran, kekeringan, wabah penyakit dan hama tanaman. Pengurangan atas hal seperti tersebut dapat diberikan pengurangan sampai dengan 100 % dari besarnya pajak terutang, berdasarkan pertimbangan yang wajar dan objektif dengan mengingat persentase kerusakan.
  3. Wajib Pajak anggota Veteran pejuang kemerdekaan dan Veteran pembela kemerdekaan termasuk janda /dudanya. Pemberian pengurangan ditetapkan sebesar 75%, tetapi apabila permohonan pengurangan diajukan oleh janda/duda veteran yang telah kawin/menikah lagi, maka besarnya persentase pengurangan yang dapat diberikan ialah maximal 75% (bisa lebih rendah dari 75%).
Pemberian keputusan atas permohonan pengurangan selambat-lambatnya 60 hari sejak tanggal diterimanya permohonan pengurangan, apabila lewat 60 hari dan keputusan belum diterbitkan, maka permohonan pengurangan dianggap diterima. Pengurangan untuk masing-masing wilayah Daerah Tk.II kabupaten atau Kota, hanya diberikan untuk satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan Wajib Pajak.
Dalam hal Wajib Pajak orang pribadi memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari satu objek pajak, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah objek pajak yang menjadi tempat domosili Wajib Pajak. Kemudian dalam hal Wajib Pajak yang memiliki, menguasai dan atau memanfaatkan lebih dari satu objek pajak adalah Wajib Pajak badan, maka objek pajak yang dapat diajukan permohonan pengurangan adalah  salah satu objek pajak yang dimiliki, dikuasai dan atau dimanfaatkan Wajib Pajak.
Persyaratan permohonan pengurangan wajib diajukan oleh WP ke KPP Pratama dengan ketentuan sebagai berikut:
  1. Diajukan secara tertulis dalam Bahasa Indonesia kepada Kepala KPP Pratama dengan mencantumkan persentase pengurangan yg dimohonkan,
  2. Untuk SKP hanya diberikan atas pokok pajak,
  3. Diajukan dalam jangka waktu 3 bln sejak terima SPPT/SKP atau sejak bencana,
  4. Dapat kolektif ( Ket. s/d Rp100.000,- ),
  5. Kolektif selambatnya tgl 10 Januari (utk pengajuan sebelum SPPT terbit).
Atas pengenaan PBB terhadap perguruan tinggi swasta berdasarkan Surat Edaran Dirjen Pajak Nomor: SE-10/PJ.6/1995, apabila memenuhi salah satu kriteria berikut ini:
  1. SPP dan pungutan lain =/> 2 juta / tahun,
  2. Luas bangunan =/> 2.000 m2,
  3. Lantai bangunan =/> 4 lantai,
  4. Luas Tanah =/> 20.000 m2,
  5. Jumlah mahasiswa =/> 3.000 orang.
Maka terhadap PBB tersebut akan dikenakan 50% dari yang seharusnya.
Demikian pula untuk rumah sakit swasta institusi pelayanan sosial masyarakat (ISPM) berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan Nomor: 796/KMK.04/1993 tanggal 20 Agustus 1993 apabila memenuhi salah satu kriteria  minimal 25% dari jumlah tempat tidur diperuntukkan bagi pasien tidak mampu dan sisa hasil usaha di reinvestasikan lagi untuk rumah sakit maka terhadap PBB yang terhutang tersebut akan dikenakan 50% dari yang seharusnya.
Bagi rumah sakit swasta pemodal yang bukan merupakan rumah sakit swasta  tetap dikenakan PBB sepenuhnya. Kemudian atas bumi dan atau bangunan yang dikuasai/dimiliki/ dimanfaatkan oleh rumah sakit tetapi secara nyata tidak dimanfaatkan untuk pelayanan kesehatan secara langsung dan terletak di luar lingkungan rumah sakit, tetap dikenakan PBB sepenuhnya sesuai ketentuan yang berlaku.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pembetulan
Apabila terjadi salah tulis, salah hitung atau kekeliruan dalam penerapan perundang-undangan perpajakan yang terdapat dalam SPPT, SKP maupun STP dapat dibetulkan baik atas permintaan WP maupun tidak. Pembetulan dapat dilakukan tanpa batas waktu akan tetapi apabila pembetulan tersebut mengakibatkan jumlah pajak terutang bertambah besar, maka pembetulan tersebut hanya dapat dilakukan apabila hak untuk menetapkan pajak belum kedaluwarsa (10 tahun). Hasil proses pembetulan berupa sama, lebih kecil atau lebih besar dari pajak terutang.
Hak Wajib Pajak Mengajukan Pembatalan
Dalam hal objek pajak tidak ada, atau hak dari subjek pajak terhadap objek pajak batal karena putusan pengadilan, atau objek pajak berubah peruntukan menjadi fasilitas umum atau fasilitas sosial atau bukti tertentu lainnya, maka dapat dilakukan pembatalan atas SPPT, SKP maupun STP.
Daluwarsa PBB
Dasar hukum terhadap daluarsa PBB adalah sebagai berikut:
  1. Pasal 23 UU PBB,
  2. Pasal 13 ayat (1) UU KUP 2000 dan 2007,
  3. Pasal II angka 1 dan angka 2 UU KUP 2007.
Berdasarkan aturan tersebut pajak PBB mempunyai 2(dua) jenis daluwarsa yaitu :
1. Daluwarsa Penetapan
Penetapan pajak menjadi daluwarsa setelah lewat waktu yang ditentukan. Namun demikian apabila berdasarkan hasil pemeriksaan atau keterangan lain pajak yang terutang tidak dibayar atau kurang bayar atau wajib pajak dikenai hukuman karena tindak pidana perpajakan, maka Dirjen Pajak dapat menerbitkan SKP ditambah sanksi administrasi berupa bunga sebesar 48% dari pajak yang belum dibayar.
2. Daluwarsa Penagihan
Hak untuk melakukan penagihan pajak termasuk bunga, denda, kenaikan, dan biaya penagihan menjadi daluwarsa setelah masa tertentu terhitung sejak saat terutangnya pajak atau berakhirnya masa pajak, bagian tahun pajak atau tahun pajak yang bersangkutan. Namun daluwarsa penagihan ini juga menjadi tertangguh apabila :
  • diterbitkan Surat Tegoran atau Surat Paksa,
  • ada pengakuan hutang dari WP,
  • diterbitkan Surat Ketetapan Pajak Kurang Bayar / KB Tambahan.
Waktu daluarsa penetapan PBB ditentukan berdasarkan kriteria sebagai berikut ini:
  • Untuk Tahun Pajak 2002 dan sebelumnya, daluwarsa 10 (sepuluh) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak,
  • Untuk Tahun Pajak 2003 sampai dengan Tahun Pajak 2007, daluwarsa pada akhir Tahun Pajak 2013,
  • Untuk Tahun Pajak 2008 dan seterusnya, daluwarsa 5 (lima) tahun sejak berakhirnya Tahun Pajak.
Restitusi PBB
Sebab-sebab terjadinya restitusi :
  1. Pajak yang dibayar lebih besar dari pajak terutang karena:
    1. Permohonan pengurangan dikabulkan,
    2. Permohonan keberatan dikabulkan,
    3. Permohonan banding dikabulkan,
    4. Perobahan peraturan.
  2. Pajak yang dibayar seharusnya tidak terutang, misalnya pembayaran PBB atas rumah ibadah.
Permohoonan restitusi harus diajukan dalam bahasa Indonesia dengan dilampiri beberapa data pendukung sebagai berikut:
  • fotokopi SPPT/SKP,
  • fotokopi SK Pengurangan/ Keberatan/ Banding,
  • fotokopi STTS (bukti bayar).
KPP Pratama akan melakukan Penelitian/ Pemeriksaan dari permohonan restitusi yang diterima. Dari hasil pemeriksaan kemudian dikeluarkan keputusan berupa :
  • Surat Keputusan Kelebihan Pembayaran  PBB (SKKP PBB) apabila Pajak yang telah dibayar lebih besar dari Pajak Terutang,
  • Surat Pemberitahuan (SPb) apabila Pajak yang telah dibayar sama dengan Pajak Terutang,
  • SKP apabila Pajak yang telah dibayar kurang dari Pajak Terutang.
Proses sampai dengan keluarnya Surat Keputusan harus selesai paling lama 12 bulan, setelah lewat waktu harus diterbitkan SKKP PBB. Kemudian dalam waktu satu bulan setelah SKKP PBB harus diterbitkan Surat Perintah Membayar Kelebihan Pembayaran PBB (SPMKP PBB). Apabila lebih dari satu bulan dari penerbitan SPMKP PBB wajib pajak belum menerima restitusi maka WP berhak mendapat imbalan bunga sebesar 2% per bulan dan apabila WP mempunyai hutang pajak lainnya maka restitusi yang akan diterimanya lebih dahulu diperhitungkan dengan hutang pajak lainnya tersebut.
Kompensasi PBB
Kelebihan pembayaran pajak yang diterima oleh WP tidak hanya dapat diterima melalui cara pemindahbukuan (restitusi) namun juga dapat pula dialihkan untuk pembayaran lainnya (kompensasi). Pengalihan pembayaran tersebut dapat dilakukan untuk:
  • ketetapan PBB tahun yang akan datang,
  • hutang PBB atas nama WP lain,
  • hutang PBB atas nama WP lain untuk tahun yang akan datang.
Pemberian Imbalan Bunga
Sebab-sebab pemberian imbalan bunga dan besarnya imbalan bunga dapat terjadi bila:
  1. Keterlambatan penerbitan SKKP PBB dimana bunga diberikan 2% per bulan terhitung sejak berakhirnya 12 bulan setelah permohonan restitusi diterima sampai dengan terbitnya SKKP PBB.
  2. Keterlambatan penerbitan SPMKP PBB dimana bunga diberikan 2% per bulan terhitung dari sejak berakhir 1 bulan dari terbitnya SKKP PBB sampai dengan terbitnya SPMKP PBB.
  3. Kelebihan pembayaran PBB karena permohonan keberatan/banding diterima sebagian atau seluruhnya, dimana bunga diberikan 2% per bulan maksimum 24 bulan yang terhitung dari sejak pembayaran PBB sampai dengan terbitnya Surat Keputusan Keberatan/Putusan banding.
  4. Kelebihan pembayaran sanksi administrasi karena pengurangan/penghapusan sebagai akibat diterbitkannya keputusan keberatan/banding, dimana bunga diberikan 2% per bulan maksimum 24 bulan yang terhitung dari sejak pembayaran sampai dengan terbitnya Keputusan Pengurangan/ Penghapusan Sanksi Administrasi.
Kesimpulan
  1. PBB merupakan pajak yang bersifat kebendaan artinya besarnya pajak terutang ditentukan oleh keadaan objek,
  2. Objek PBB terdiri dari dua hal yaitu bumi yang merupakan permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada dibawahnya dan bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara  tetap pada tanah dan/atau perairan,
  3. Subjek PBB adalah orang atau badan yang secara nyata mempunyai suatu hak atas bumi, dan/atau memperoleh manfaat atas bumi, dan/atau memiliki, menguasai, dan/atau memperoleh manfaat atas bangunan,
  4. Sebelum objek pajak dikenakan PBB terlebih dahulu harus didaftarkan menggunakan sarana berupa Surat Pemberitahuan Objek Pajak (SPOP) untuk objek berupa tanah dan Lampiran Surat Pemberitahuan Objek Pajak (LSPOP) jika ada bangunannya,
  5. Dasar Pengenaan PBB adalah Nilai Jual Objek Pajak (NJOP),
  6. Besarnya  Nilai Jual Objek Pajak Tidak Kena Pajak (NJOPTKP) ditetapkan setinggi-tingginya Rp. 12.000.000,- untuk setiap wajib pajak, sedangkan berdasarkan UU No. 28 Tahun 2009 Pasal 77 ayat (4) besarnya NJOPTKP ditentukan paling rendah adalah Rp. 10.000.000,-
  7. Dasar  perhitungan PBB adalah Nilai Jual Kena Pajak (NJKP). Besarnya NJKP adalah 40% dari NJOP untuk objek P3 serta objek PBB lainnya  apabila NJOP ≥ 1 milyar rupiah dan sebesar 20% dari NJOP untuk objek PBB Lainnya apabila NJOP < 1 Milyar rupiah.
  8. Tarif PBB Undang-undang No.12 tahun 1994 adalah flat sebesar 0.5%, sedangkan menurut UU Nomor 28 Tahun 2009 Pasal 80 ayat (1) dan (2) adalah paling tinggi 0.3% yang ditetapkan dengan Peraturan Daerah.
  9. Perbandingan penerapan PBB antara UU No.12 Tahun 1994 dengan UU No. 28 Tahun 2009 :
banding